TINJAUAN TEOLOGIS ETIS
KRISTEN TENTANG KEBUDAYAAN TARI MASYARAKAT JAWA

D
I
S
U
S
U
N
OLEH
:
1.
NAOMI
LUBIS (140903072)
2.
YOHANNA
SIMANGUNSONG (140903129)
3.
WIDYA
ANASTASIA TARIGAN
(140903135)
4.
ASTRI
VERONIKA
SIMAMORA (140903136)
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2015
BAB I
PENDAHULAN
1. LATAR
BELAKANG
Indonesia
adalah negara kepulauan yang bersifat pluralisme yang terdiri dari berbagai macam
agama, suku, etnis, dan budaya. Salah satunya adalah suku Jawa dengan berbagai
kebudayaannya, salah satunya tari. Situasi tari pada masyarakat Jawa sangat terkait dengan perkembangan
kehidupan masyarakatnya, baik ditinjau dari struktur etnik maupun dalam lingkup
negara kesatuan. Jika ditinjau sekilas perkembangan
Indonesia sebagai negara kesatuan, maka perkembangan tersebut tidak terlepas
dari latar belakang keadaan masyarakat Indonesia pada masa lalu. Masyarakat Indonesia memiliki kebudayaan yang berkaitan
dengan sistem
kepercayaan Panteisme.
Sistem kepercayaan masyarakat tersebut
menyatu antara adat atau tradisi dan kepercayaan.
Menurut P. Howard Jones, *Sinkretisme membuat orang Jawa lebih
terbuka dan toleran terhadap orang lain. Agama dalam komunitas Jawa lebih didominasi oleh
kepercayaan kepada roh-roh, pemujaan atau okultisme dan praktek magis.
Yojachem Wach berkata tentang
pengaruh agama terhadap budaya manusia yang immaterial bahwa mitologis hubungan
kolektif tergantung pada pemikiran terhadap Tuhan.
Agama dan kebudayaan adalah dua hal
yang sangat dekat di masyarakat. Bahkan banyak yang salah mengartikan bahwa
agama dan kebudayaan adalah satu kesatuan yang utuh. Dalam kaidah sebenarnya
agama dan kebudayaan mempunyai kedudukan masing-masing dan tidak dapat
disatukan, karena agamalah yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada
kebudayaan. Namun keduanya mempunyai hubungan yang erat dalam kehidupan
masyarakat. Meskipun tidak dapat disamakan, agama dan kebudayaan dapat
saling mempengarui. Agama mempengaruhi sistem kepercayaan serta praktik-praktik
kehidupan. Sebaliknya kebudayaan pun dapat mempengaruhi agama, khususnya dalam
hal bagaimana agama di interprestasikan atau bagaimana ritual-ritualnya harus
dipraktikkan.
*Sinkretisme mengacu kepada adanya pencampuradukan semua
unsur dalam sebuah sistim keagamaan. Semua unsur tercampur dan
menghasilkan agama baru dari segala perbedaan, dalam Soetarman Soedirman
Partonadi, Komunitas Sadrach (Jakarta: BPK Gunung Mulia: 2001), 21
Budaya yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia
dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi
dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan
beberapa kondisi yang objektif.
Hal pokok bagi semua agama adalah bahwa
agama berfungsi sebagai alat pengatur dan sekaligus membudayakannya dalam arti
mengungkapkan apa yang ia percaya dalam bentuk-bentuk budaya yaitu dalam bentuk
etis, seni bangunan, struktur masyarakat, tarian, bahasa dan lain-lain. Jadi
ada pluralisme budaya berdasarkan kriteria agama. Hal ini terjadi karena
manusia sebagai homoreligiosus merupakan insan yang berbudidaya dan dapat
berkreasi dalam kebebasan menciptakan berbagai objek realitas dan tata nilai
baru berdasarkan inspirasi agama.
Panggilan orang Kristen terhadap
kebudayaan dalam Filipi 2:5 Firman Tuhan mempunyai otoritas mutlak dalam semua
aspek kehidupan manusia yang meliputi kehidupan spiritual maupun kehidupan
praktis sehari-hari. Panggilan Allah dalam pekerjaan misi tersebut menuntut
kita untuk bekerja keras dalam menyelesaikan persoalan di tengah-tengah
masyarakat khususnya kebudayaan Jawa. Perubahan zaman yang sangat cepat dan
pemujaan yang berlebihan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi menimbulkan pemahaman
baru dalam masyarakat yaitu Sinkretisme. Sinkretisme terjadi dalam seluruh
aspek hidup kita mulai dari kebudayaan sampai cara hidup tidak lepas dari
sinkritisme. Sinkretisme dan tradisi adalah yang paling umum terjadi bahkan semasa
Yesus hidup di dunia dan konsekuensinya disamping ajaran yang campur aduk,
sering terjadi bahwa adat istiadat tradisi lebih diutamakan dari Injil Allah.
2. RUMUSAN
MASALAH
a. Bagaimana
gambaran mengenai kebudayaan
tari masyarakat Jawa
b. Bagaimana
tinjauan teologis etis
Kristen tentang kebudayaan tari masyarakat Jawa
c. Apa
kesimpulan dan saran
BAB II
1.
KUMPULAN
KLIPING
Kliping 11
TARI BEDHAYA KETAWANG DALAM UPACARA JUMENENGAN


Upacara ritual Tingalan Dalem Jumenengan yang
diselenggarakan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Jumat (15/06/2012)
lalu. Merupakan sebuah upacara ritual adat istiadat keraton untuk memperingati
hari ulang tahun penobatan kenaikan tahta Susuhunan Paku Buwono XIII yang
diadakan setahun sekali.
Sesuai arti dari Tingalan
Dalem Jumenengan itu
sendiri, yang dalam bahasa Jawa kata tingalan berarti peringatan, dalem yang merupakan panggilan seorang raja,
danjumenengan yaitu dari kata jumenengyang
mempunyai arti bertahta.Upacara ini diselenggarakan di Pendopo Agung
Sasana Sewaka yang dihadiri oleh semua abdi dalem dan sentana dalem serta
beberapa tamu undangan.
Upacara Tingalan
Dalem Jumenengan merupakan
upacara adat yang sangat disakralkan yang diyakini memiliki makna penting oleh
kerajaan yang masih mempunyai garis darah dengan dinasti Mataram. Dalam prosesi
upacara ini juga diselenggarakan persembahan tarian bedhaya ketawang yang
ditampilkan seusai prosesi Tingalan Dalem Jumenengan selesai.
Sebuah tarian Jawa klasik
yang hanya diperbolehkan ditampilkan hanya dalam acara Jumenengan saja. Tari bedhaya ketawang ini
diperagakan oleh sembilan penari putri yang belum menikah atau yang masih
perawan. Tarian bedhaya ketawang ini diyakini menggambarkan tentang cinta kasih
Penguasa Laut Kidul kepada Panembahan Senopati. Tapi ada beberapa sumber yang
mengatakan bahwa tarian bedhaya ketawang adalah tarian yang mengisahkan siklus
kehidupan manusia dari lahir, hidup, mati hingga alam keabadian.
Seperti yang dikatakan
KRAT Soehonodo Wibhakso Adi Nagoro abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta.
Tarian bedhaya ketawang adalah sebuah tarian mistik hubungan batin antara
raja-raja dinasti Mataram dan penerusnya dengan Penguasa Laut Selatan atau yang
lebih dikenal dengan Ibu Ratu Kidul.
Dikatakan tari Bedhaya
Ketawang karena disesuaikan dengan gending yang mengiringi tarian ini. Salah
satunya adalah gending bedhaya ageng karya dari Panembahan Senopati. Selesainya
pementasan tari bedhaya ketawang menandakan selesainya upacara prosesi Tingalan
Dalem Jumenengan, yang merupakan upacara adat keraton dari dinasti
Mataram hingga Kasunanan Surakarta Hadiningrat saat ini.
Kliping 12

Sumardi 40 tahun mengecat
miniatur kayu penari gandrung di pusat kerajinan kayu kelurahan mojopanggung,
giri banyuwangi jawa timur Selasa (17/03). miniatur tari gandrung dijual
berbagai ukuran dengan harga Rp 15 ribu - Rp 800 ribu per biji.dipasarkan ke
denpasar dan di ekspor ke Malaysia dan Singgapura. (TEMPO/Aman Rochman)
Seribu
Gandrung Ramaikan Banyuwangi Festival
MINGGU, 18 NOVEMBER 2012 | 04:31 WIB
TEMPO.CO, Banyuwangi--Pemerintah
Banyuwangi, Jawa Timur, menggelar Parade Gandrung Sewu di Pantai Boom, Sabtu 17
November 2012 sore. Parade tersebut merupakan rangkaian kegiatan dalam
Banyuwangi Festival yang dilaksanakan pada November-Desember 2012.
Gandrung merupakan tarian tradisional khas Banyuwangi. Sedangkan 'sewu' yang berarti seribu. Dinamakan Gandrung Sewu karena parade ini diikuti seribu lebih penari gandrung mulai pelajar SD, SMP dan SMA.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengatakan Parade Gandrung Sewu tersebut bertujuan untuk mengangkat budaya lokal agar dikenal masyarakat secara luas. "Gandrung jadi ikon pariwisata Banyuwangi," kata dia, Sabtu 17 November 2012.
Parade Gandrung Sewu dimulai pukul 15.30 WIB. Diawali dengan fragmen tari karya Sumitro Hadi yang menceritakan perkembangan gandrung dari masa ke masa. Dalam fragmen, gandrung dikisahkan berasal dari ritual Seblang yang merupakan penyembahan untuk Dewi Sri (Dewi Padi).
Pasca periode sebagai tarian persembahan, Gandrung ditarikan oleh laki-laki. Gandrung kemudian menjadi kesenian hiburan setelah VOC mulai datang ke Banyuwangi pada tahun 1767.
Setelah penampilan seluruh fragmen, barulah seribu lebih penari Gandrung melenggak-lenggok di pantai yang berpasir hitam. Musik tradisional berupa angklung mengiringi tarian tersebut selama 30 menit.
Di akhir penampilannya, seribu Gandrung kompak meneriakkan: "Isun Gandrung......gandrungono!". Artinya: "Saya Gandrung, cintailah...,"
Dalam kehidupan sehari-hari kesenian Gandrung ditanggap untuk pernikahan dan sunatan. Namun tradisi ini sudah banyak ditinggalkan.
Gandrung merupakan tarian tradisional khas Banyuwangi. Sedangkan 'sewu' yang berarti seribu. Dinamakan Gandrung Sewu karena parade ini diikuti seribu lebih penari gandrung mulai pelajar SD, SMP dan SMA.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengatakan Parade Gandrung Sewu tersebut bertujuan untuk mengangkat budaya lokal agar dikenal masyarakat secara luas. "Gandrung jadi ikon pariwisata Banyuwangi," kata dia, Sabtu 17 November 2012.
Parade Gandrung Sewu dimulai pukul 15.30 WIB. Diawali dengan fragmen tari karya Sumitro Hadi yang menceritakan perkembangan gandrung dari masa ke masa. Dalam fragmen, gandrung dikisahkan berasal dari ritual Seblang yang merupakan penyembahan untuk Dewi Sri (Dewi Padi).
Pasca periode sebagai tarian persembahan, Gandrung ditarikan oleh laki-laki. Gandrung kemudian menjadi kesenian hiburan setelah VOC mulai datang ke Banyuwangi pada tahun 1767.
Setelah penampilan seluruh fragmen, barulah seribu lebih penari Gandrung melenggak-lenggok di pantai yang berpasir hitam. Musik tradisional berupa angklung mengiringi tarian tersebut selama 30 menit.
Di akhir penampilannya, seribu Gandrung kompak meneriakkan: "Isun Gandrung......gandrungono!". Artinya: "Saya Gandrung, cintailah...,"
Dalam kehidupan sehari-hari kesenian Gandrung ditanggap untuk pernikahan dan sunatan. Namun tradisi ini sudah banyak ditinggalkan.
Kliping 13
SELASA,
31 MEI 2011 | 20:37 WIB
Didik Nini Thowok: Pengalaman Mistis Selama Menari

TEMPO/Suryo Wibowo
TEMPO.CO, Yogyakarta - Pada 21-24 April lalu, untuk kesekian
kalinya, penari Didik Hadiprayitno, atau lebih dikenal dengan nama Didik Nini
Thowok, menari di Amerika Serikat. Ia diundang atas prakarsa New Conservatory
Theatre Center dan Asian Art Museum. "Di sana saya membawakan empat
tarian. Itu yang disebut Mystical Gender," kata pemilik nama lahir Kwee Tjoen
Lian itu.
Penari kelahiran Temanggung, Jawa Tengah, ini menjelaskan, latar belakang penamaan tarian ini lantaran berkaitan dengan hal misterius. Penonton yang melihatnya menari kerap melihat ada sosok lain dalam tubuhnya. "Seorang istri teman saya melihat sosok perempuan cantik masuk ke dalam diri saya saat menari," ujar Didik kepada Anang Zakaria dari Tempo di kediamannya, di daerah Godean, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu lalu.
Kehadiran sosok lain dalam tubuhnya saat menari inilah yang membuat para penonton terpikat. Apalagi, saat menari, pria kemayu berusia 56 tahun ini juga menyertakan gerakan komedi yang seolah mengajak penonton berdialog dengannya. Tak mengherankan jika undangan menari di luar negeri kerap menghampirinya.
Selama hampir dua jam, ia meladeni pertanyaan sambil mengepak baju lantaran esok harinya ia harus terbang ke Austria selama dua pekan. "Sebenarnya besok itu cuma untuk meeting," kata Didik. Pertemuan itu untuk mempersiapkan pementasan para koreografer dunia, tahun depan.
Penari kelahiran Temanggung, Jawa Tengah, ini menjelaskan, latar belakang penamaan tarian ini lantaran berkaitan dengan hal misterius. Penonton yang melihatnya menari kerap melihat ada sosok lain dalam tubuhnya. "Seorang istri teman saya melihat sosok perempuan cantik masuk ke dalam diri saya saat menari," ujar Didik kepada Anang Zakaria dari Tempo di kediamannya, di daerah Godean, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu lalu.
Kehadiran sosok lain dalam tubuhnya saat menari inilah yang membuat para penonton terpikat. Apalagi, saat menari, pria kemayu berusia 56 tahun ini juga menyertakan gerakan komedi yang seolah mengajak penonton berdialog dengannya. Tak mengherankan jika undangan menari di luar negeri kerap menghampirinya.
Selama hampir dua jam, ia meladeni pertanyaan sambil mengepak baju lantaran esok harinya ia harus terbang ke Austria selama dua pekan. "Sebenarnya besok itu cuma untuk meeting," kata Didik. Pertemuan itu untuk mempersiapkan pementasan para koreografer dunia, tahun depan.
Kliping 14
Tarian Magis Kuda Lumping

“Konon kuda lumping merupakan bentuk dukungan
rakyat jelata terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponogoro”
Jakarta, Aktual.co — Kuda lumping merupakan sebuah seni tari tradisional Jawa yang menampilkan sekelompok prajurit yang sedang menggunakan kuda. Kesenian ini juga sering disebut dengan jaran kepang atau jathilan.
Sebagai pelengkap tarian, para penari biasanya menggunakan kuda yang terbuat dari bambu, tarian ini juga menceritakan tentang prajurut berkuda, selain itu biasanya tarian ini juga menampilkan unsur magis seperti penari yang kesurupan, penari memakan beling dan tubuh menjadi kebal saat dipecut.
Kuda lumping merupakan bagian dari tari reog yang berasal dari Jawa Timur. Konon kuda lumping merupakan bentuk dukungan rakyat jelata terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponogoro.
Dalam pertunjukan kuda lumping terdapat empat fragmen tarian, yaitu dua kali tarian buto, tari santerwe, dan tari begong putri. Namun, pada pementasan kuda lumping tidak memerlukan koreografi yang khusus, serta perlengkapan gamelan seperti halnya karawitan.
Gamelan yang digunakan untuk mengiringi tarian kuda lumping cukup sederhana, hanya berupa gendang, kenong, gong dan slompret. Slompret merupakan alat musik tiup serupa dengan suling namun memiliki suara yang melingking.
Tarian kuda lumping adalah salah satu tarian tradisional yang mengandung unsur hiburan, religi dan tak jarang mengandung unsur magis. Karena biasanya sebelum atraksi kuda lumping dimulai, seorang pawang hujan akan melakukan ritual, agar cuaca tetap cerah karena pertunjukan kuda lumping di lakukan di lapangan terbuka.
Kliping 15
Gelar Ritual Tari Seblang untuk Tolak Bala
Minggu, 12 Oktober 2014 21:37

surya/wahyu
nurdiyanto
TARI
RITUAL - Tari Seblang di Desa Bakungan, Kecamatan Glagah, bertujuan sebagai
tari tolak bala masyarakat Using, Minggu (12/10/2014) malam.
SURYA Online, BANYUWANGI - Minggu kedua bulan Dzulhijah atau Idul Adha menjadi momen
spesial bagi masyarakat Desa Bakungan di Kecamatan Glagah, Kabupaten
Banyuwangi.
Pada momen yang jatuh Minggu (12/10/2014), masyarakat Desa
Bakungan mengelar ritual tolak bala dengan menggelar tari seblang. Ritual ini
dimulai pada malam hari, tepatnya sesudah isya.
Acara diawali dengan para pemuda berkeliling kampung dengan
membawa obor. Sembari berkeliling, mereka memanjatkan doa dan syair-syair
Bahasa Using yang intinya meminta perlindungan kepada Tuhan agar desa mereka
terhindar dari bencana.
Usai berkeliling, kemudian ada syukuran kecil disetiap rumah.
Disini, setiap rumah menyajikan nasi tumpeng dengan menu pecel ayam, yang
merupakan kuliner khas masyarakat Using, Banyuwangi.
Usai bersantap, pada pukul 20.00 WIB ritual utama tolak bala,
yakni tari Seblang dimulai. Penari bernama Barona sebelumnya dirias dan
dipakaikan baju tari termasuk omprog atau mahkota.
Selanjutnya dilakukan ritual pemanggilan roh oleh pawang atau dukun
agar masuk ke tubuh sang penari. Jika roh sudah masuk, maka tari seblang pun
dimulai dengan penari menari dalam kondisi trance atau tak sadarkan diri.
"Tari ini melambangkan kesakralan, ritual pertemuan dua
dunia, sekaligus sebagai rasa syukur atas karunia yang diberikan oleh sang
Pencipta dan juga menjadi permohonan untuk tolak bala," terang Kushairi,
tetua adat Desa Bakungan.
Di Banyuwangi, ritual tari seblang hanya ada di dua desa. Yakni
di desa Olehsari dan Bakungan. yang keduanya masuk wilayah Kecamatan Glagah.
Untuk Tari Seblang Olehsari, penari haruslah perawan atau belum dewasa. Ritual
dilakukan selama tujuh hari berturut-turut, usai lebaran Idul Fitri. Sedangkan
pada tari Seblang Bakungan penarinya harusnya perempuan dengan usia di atas 50
tahun, dan dilakukan semalam suntuk. Adapun persamaanya, para penari seblang
menari dalam kondisi trance alias kesurupan.
2.
RANGKUMAN
KLIPING
1.
Kliping 1 :
Sosok penari dipercaya oleh masyarakat penontonnya sebagai perantara energi
penyembuhan dan perantara pemberi berkat penyembuhan dan sering juga penari
diminta memberi nama anak penonton baru dilahirkan. Bahkan dalam sebuah
panggung tari topeng itu, warga tak lagi melihat keni arja sebagai manusia
sehari-hari, tetapi sesok lain yang dianggap lebih digdaya (sakti). Tari topeng
juga mengiringi tradisi ngarot tradisi mencari jodoh remaja setempat. Dan juga
tari topeng menjadi tarian yang wajib setiap kali ada upacara sedekah bumi atau
sedekah laut di berbagai kampung nelayan dan hingga detik ini, upacara
penghormatan dimakam leluhur masyarakat desa di Tambi, Indramayu, masih diawali
dengan permainan tari topeng.
2.
Kliping 2 :
Ronggeng Gunung adalah tarian kuno khas yang banyak berkembang di daerah
pegunungan Ciamis, Jawa Barat. Tony Lasmana mengatakan Ronggeng gunung adalah
tarian rindu dan romantis berbalut dendam yang dialami Dewi Siti Samboja atau
Dewi Rengganis, karna kehilangan kekasihnya ditangan perampok. Versi lain
menyebutkan tari ini adalah ungkapan syukur atas kesuburan dan panen. Bagi
masyarakat Ciamis Dewi Rengganis mirip dengan Dewi Sri Pohaci ( Dewi
Kesuburan). Maka biasanya tarian ini kerap dimainkan selepas menggerap sawah
atau ladang.
3.
Kliping 3:
Tari ujung diselenggarakan pada hari
raya Karo setiap tahun pada tanggal 15 bulan kedua kalender Tengger oleh
masyarakat Tengger di desa Ngadisari, kecamatan Sukapura, kabupaten
Probolinggo, Jawa Timur. Hari karo dimaknai sebagai reffleksi kehidupan saat setiap
manusia patut memaknai hidup dengan selalu bersyukur kepad Tuhan dan sekaligus
menghormati leluhur. Tari ujung dilakukan
setelah mengunjungi makam leluhur atan Nyadran.
4.
Kliping 4:
Tari Gandrung adalah ikon dan aset bayuwangi. Gerak tari dapat menggeser
kehidupan sosial mereka. Biasanya penari Gandrung adalah remaja SMP dan SMA
yang putus sekolah. Pelatihan Tari ini untuk peyuburan nilai estetik dan untuk
membantu mengentaskan generasi drop out.
5.
Kliping 5:
Dalam upacara Tradisi Ngarot sudah beralih berburu mencari pendamping
hidup. Ngarot identik dengan hadirnya
gadis-gadis belia dan pemuda-pemuda tangguh. Jejaka dan gadis desa yang dulunya
untuk meneruskan denyut nadi pertanian, kini condong menikmati pesta sembari
berkedipan mata mencari jodoh. Berawal dari pertemuan ditengah sawah yang
dilanjutkan perkenalan kemudian ada yang berujung pada pernikahan. Menurut
sesepuh desa Lelea, Samian mengatakan
ritual Ngarot sebenarnya bukan mencari mencari jodoh namun tradisi ini
mengajarkan cara bertani yang baik kepada generassi muda.
6.
Kliping 6:
Seorang penari bernama Mimi Rasinah berumur 80 tahun tetap ingin menari,
dengan di bopong dan dinaikkan ke kursi
roda, Rasinah menuju panggung untuk menarikan tarian topeng Panji. Rogoh
Sukma bersama cucunya dan anak didiknya.
Walaupun demikian, Rasinah mampu menyihir penonton, dengan kesederhanaan
dan totalitasnya, ia rela menggerakkan seluruh hidupnya pada panggung dan tari
topeng Indramayu. Komposisi ini tidak saja menunjukkan kehebatan Rasinah,
tetapi juga bisa di interpretasi sebagai proses penurunan ilmu topeng dari
nenek kepada cucunya.
7.
Kliping 7:
Dalam melakukan tarian Bedhaya Arjuna Wijaya, gamelan dimainkan 40 abdi
dalam mengiringi matahari yang memerah pergi. Membakar kemenyan adalah awal
ritual sebelum sepasang gamelan.
Selain kemenyan, setangkep pisang raja dan semangkuk kembang
sekar diletakkan di antara gong. “Untuk nuwun sewu (permisi)” sebelum menabuh
oleh wijiono,, abdi dalam pembakar kemenyam.
8.
Kliping 8:
Tradisi tutup Ngisor, waktunya bertatapan dengan bulan purnama, penanggalan
15 Suro yang memulai Romo Yoso Sudarso tokoh spiritual dan pendiri padepokan
seni Tjipto boedojo yang diawali dengan
menyerbu sesaji yang disajikan dan dilanjutkan
dengan Tari Kembar Mayang. Tujuannya adalah agar masyarakat desa Tutup Ngisor
dihindarkan dari malapetaka.
9.
Kliping 9 :
Keraton kajoman Cirebon merekontruksi kembali bedaya kajoman Cirebon yang
nyaris punah. Karena Bedaya kajongan menjadi tari tradisi yang terlupakan dan
bukan satu-satunya juga Bedaya Rimbe, Bedaya Gododan, Bedaya Golekan, Bedaya
kembang, dan lain-lain juga kehilangan para penarinya. Tarian ini lahir dari
penghormatan sultan kepada kaum perempuan
yang menjadi tumpuan segala ritual rutin keratin kanoman. Bedaya
kajongan adalah perlambangan perang perempuan memenangi dirinya sendiri,
melawan hasrat, keinginan dan nafsu.
10.
Kliping 10:
Komunitas tari Indonesia menggelar
“Solo 24 jam menari” acara tersebut di gelar di Pelataran Teater terbuka kapal
Institut Seni Indonesia (ISI). Tarian yang dibawakan adalah tari Umbul Donga
yang menjadi bentuk doa dan hajatan bagi warga Solo.
11.
Kliping 11 :
Pemerintah
bayuwangi menggelar parade Gandrung Sewu. Dinamakan Gandrung Sewu karena parade
diikuti seribu lebih penari gandrung mulai pelajar SD, SMP, SMA. Fragmen tari
karya Sumitro Hadi yang menceritakan perkembangan gandrung dari masa ke masa.
Dalan fragmen ini, gandrung dikisahkan berasal dari ritual Seblang yang
merupakan penyembahan untuk Dewi Sri (
dewi padi). Dan gandrung ditarikan oleh laki-laki.
12.
Kliping 12:
Upacara Tingalan Dalem Sumenengan adalah upaca ritual adat Keraton untuk
memperingati hari ulang tahun penobatan kenaikan tahta susuhunan Paku Buwono
XIII yang diadakan setahun sekali. Dalam upacara ini di tampilkan sebuah tarian
Jawa klasik yaitu tari bedhaya ketawang/ tarian mistik yang di yakini menggambarkan tentang cinta
kasih penguasa laut kidul atau yang lebih dikenal Ibu Ratu Kidul penyembahan senopati
atau raja-raja dinasti Mataram dan
penerusnya.
13.
Kliping 13 :
Penari Didik Hadiprayitno empat tarian yang disebut Mystical Gender, latar
belakang penamanan tarian ini lantaran berkaitan dengan hal misterius. Penonton
yang melihatnya menari kerap melihat ada sosok lain dalam tubuhnya. Seorang
istri temannya melihat sosok perempuan cantik masuk ke dalam dirinya saat
sedang menari.
14.
Kliping 14 :
Kuda lumping merupakan sebuah seni tari tradisional Jawa yang menampilkan
sekelompok prajurit yang sedang menggunakan kuda. Selain itu, biasanya tarian
ini menampilkan unsur magis seperti penari yang kesurupan. Penari memakan
beling dan tubuh menjadi kebal saat dipecut. Dan biasanya sebelum atraksi kuda
lumping dimulai, seorang pawang hujan akan melakukan ritual, agar cuaca tetap
cerah karena pertunjukan kuda lumping dilakukan dilapangan terbuka.
15.
Kliping 15 :
Masyarakat Desa Bakungan mengelar ritual Tolak Bala dengan menggelar tari Seblang.
Masyarakat mengadakan syukuran kecil di setiap rumah usai bersantap, ritual
utama Tolak Bola, yakni tari Seblang dimulai. Selanjutnya dilakukan ritual
pemanggilan roh oleh pawang atau dukun agar masuk ke tubuh penari yang menari
dalam kondisi trance atau tak sadarkan diri. Tari ini melambangkan kesakralan
ritual pertemuan dua dunia sekaligus
sebagai rasa syukur atas karunia yang diberikan oleh sang pencipta dan juga
menjadi permohonan untuk tolak bala.
BAB III
TINJAUAN TEOLOGIS ETIS KRISTEN TENTANG KEBUDAYAAN
TARI MASYARAKAT JAWA
Kebudayaan tari adalah suatu prestasi atau hasil
cipta, rasa, dan karsa manusia dalam alam ini yang ditunjukkan berupa gerakan
tubuh yang berirama dengan tujuan atau maksud tertentu. Kemampuan untuk
berprestasi/berkarya ini merupakan sikap hakiki yang hanya ada pada manusia
yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.
Karena itu sejak penciptaan, manusia telah diberi amanat atau
mandat kebudayaan (Kej 1:26-30).
Alkitab mencatat bahwa tari-tarian sudah diciptakan
Allah sebelum dunia dijadikan. “Jikalau aku pernah memandang matahari, ketika
ia bersinar dan bulan yang beredar dengan indahnya,” (Ayub 31 : 26).
Kitab Kejadian menyebutkan bahwa Allah, melalui ucapan
firman-Nya, menciptakan segala sesuatu. Ia menjadikan segala ciptaan dalam
rangkaian gerak. Ia memisahkan, mengumpulkan, menumbuhkan, dan memampukan
ciptaan-Nya untuk bergerak. Dalam seluruh rangkaian gerak tersebut, Allah
melihat segala ciptaan-Nya itu baik.
Berdasarkan kesaksian Alkitab PL (Kej 1:28; 2:15)
yang memperlihatkan bahwa agama dan kebudayaan merupakan kedua hal yang
diibaratkan sebagai mata uang logam, dimana saling melengkapi dan memiliki
pengaruh timbal balik. Namun yang memiliki ruang lingkup yang lebih luas yaitu
agama, karena kebudayaan lebih cepat mengalami perubahan dibandingkan dengan
agama. Kebudayaan adalah hasil usaha manusia sedangkan agama khususnya agama
Wahyu, dipercaya bukan berasal dari manusia melainkan penyataan yang suci
(revelational). Di sinilah interaksi keduanya menjadi menarik, sesuatu yang
berbeda namun saling terikat.
A.
PANDANGAN IMAN KRISTEN
TERHADAP KEBUDAYAAN
a. Tugas Kebudayaan
Allah memberikan tugas kebudayaan kepada manusia. Dalam
Alkitab disebutkan bahwa “Allah menciptakan manusia menurut gambar dan serupa
dengan Allah” (Kej.1:26-27), artinya pada dasarnya manusia memiliki gambar
seorang pencipta. Selanjutnya, dalam hubungan yang sangat erat dengan
penciptaan manusia menurut gambar Allah itu, diberikanlah kepada manusia tugas
kebudayaan, yakni: “Taklukkanlah dan perintahkanlah bumi” (Kej.1:28). Jadi,
manusia menerima suatu mandat dari Allah dan mandat itu adalah mandat kebudayaan.
Lebih jelas lagi disebutkan bahwa: “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan
menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.”
(Kej.2:15).
Tugas dan tanggung jawab manusia sangat penting
maka, hendaklah dijalankan sesuai dengan tujuan penciptaan itu sendiri. maka
dengan iman Kristen kita dapat katakan bahwa kebudayaan yang tercipta hanya
karena adanya tanggung jawab tersebut, dimana tugas manusia untuk membuat
peralatan hidup untuk usahanya, dengan
demikian terciptalah budaya, hal tersebut diatas merupakan salah satu contoh
dari hubungan iman Kristen dan Alkitab.
b. Tujuan Kebudayaan
Di samping tugas kebudayaan yang mulia itu, Tuhan juga
memberikan tujuan kebudayaan kepada manusia untuk dicapai. Tujuan ideal dari
kebudayaan terlihat dalam ungkapan pemazmur (Mzm.150) yang menekankan bahwa
tujuan manusia adalah untuk “Memuji Tuhan” dengan seruan “Pujilah Allah dalam
tempat kudusNya.” (ayat-1), dan usaha itu juga dicapai dengan menggunakan
hasil-hasil kebudayaan yang disebutkan sebagai nyanyian, tari-tarian, dan
dengan menggunakan berbagai alat musik: “Biarlah segala yang bernafas memuji Tuhan!
Haleluya.” (ayat-6).
Hukum kasih memiliki dua dimensi, yaitu ke atas
(vertikal) yang ditujukan untuk memuliakan Allah dan ke samping (horizontal)
untuk melayani sesama manusia. Jadi, tujuan kebudayaan yang utama adalah untuk
memuliakan dan mengasihi Allah, dan yang lainnya adalah agar kebudayaan itu
digunakan untuk melayani dan mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri.
Kedua dimensi kebudayaan itu sangat penting dalam menentukan kemana kebudayaan
itu diarahkan, mengingat bahwa banyak sekali kebudayaan yang bukan digunakan
untuk tujuan mengasihi Allah dan sesama manusia tetapi untuk penyembahan
berhala dan kebanggaan diri sendiri/kelompok (ingat menara Babel dalam Kej.11).
c. Kuasa Dosa dan Iblis dalam Kebudayaan
Dalam awal kitab Kejadian kita melihat betapa kebudayaan
itu bisa salah arah, yaitu bukan ditujukan untuk memuliakan Allah tetapi
ditujukan untuk berhala & diri sendiri. Kasus Kain menunjukkan kemerosotan
ini (Kej.4:1-16). Dosa Kain menurun pada keturunan manusia dan kejatuhan
manusia dalam dosa menempatkan manusia dalam kuasa Iblis. Allah kemudian
menghukum manusia dengan air bah, namun dalam Kej.11 kita dapat melihat puncak
dari kejatuhan manusia dalam dosa, dimana kebudayaan manusia yang meningkat
sehingga dapat membuat bangunan tinggi itu yang sayangnya bukan ditujukan untuk
memuliakan Allah namun untuk memuliakan diri sendiri/kelompok: “... Marilah kita
mencari nama ...” (Kej.11:4). Bukan saja hasil kebudayaan itu tidak memuliakan
Allah , sebaliknya malah digunakan untuk alat meninggikan diri dan menantang
Allah.
d. Bagaimana dan Dimana Kuasa Dosa itu Kelihatan di dalam
Kebudayaan
Kuasa dosa itu kelihatan pada hasil kebudayaan, kuasa
dosa dapat pula dilihat pada cara menggunakan hasil itu.
Para Nabi dan Rasul sering mengkritik kebudayaan yang
sudah tidak lagi sesuai dengan tugas dan tujuan yang diberikan Allah. Yesaya
mengkritik nafsu kemewahan dan wanita yang memperagakan dirinya di Yerusalem
(3:16-24). Amos mengecam gejala mamonisme, kemabukkan, dan nafsu kemewahan yang
berkecamuk di Samaria (6:1-10), dan Nahum melawan hawa nafsu berkuasa yang
merajalela dalam kebudayaan Niniwe.
e. Dampak negatif dari kebudayaan
·
Menjadikan kebudayaan untuk menghasilkan uang semata
tanpa memuliakan Tuhan.
·
Menghalalkan segala cara demi mendapatkan uang, uang
sudah menggantikan Tuhan. (I Tim 6:10;II Tim. 3:2)
·
Menjadikan budaya sebagai berhala
·
Manusia menjadi sombong, hingga melupakan kasih
·
Menolong manusia untuk membinasakan sesamanya (Kej 4:22)
Dengan demikian dampak negatif dari kebudayaan merupakan
kelalaian yang sedang dihadapi manusia secara keseluruhan, untuk itu kita
sebagai pemuda-pemudi Kristen hendaklah menyikapi hal ini dengan cara yang
sesuai ajaran Alkitab, karena kebudayaan bukanlah untuk menjauhkan manusia dari
Tuhan, tetapi kebudayaan haruslah digunakan untuk memuliakan Tuhan, itulah
tanggung jawab yang Tuhan berikan kepada kita.
B.
TARIAN DI DALAM ALKITAB
Pandangan Alkitab tentang tarian :
a.
Orang orang dalam Alkitab yang menari di hadapan Tuhan
Contoh yang paling baik yang kita bisa lihat adalah Daud
yang "menari di hadapan Tuhan dengan segenap kekuatannya" ketika
Tabut Perjanjian dibawa ke Yerusalem dari rumah Obed-Edom (2 Samuel 6:14).
Tabut perjanjian menyatakan kehadiran Tuhan. Tuhan senang ketika kita menari
untuk Dia. Kitab Mazmur sangat penuh dengan ayat ayat yang memotivasi kita
untuk memuji Tuhan, menari di hadapanNya dan bersukacita di dalam Dia (Mazmur
149:3).
b.
"Kau telah ubahkan ratapanku menjadi tarian"
Ayat ini bisa ditemukan dalam Mazmur 30:12 dimana Daud
mengatakan bahwa Tuhan telah mengubahkan ratapannya menjadi tari-tarian. Ayat
yang mirip bisa ditemukan di dalam Yesaya 61:3. Jadi mengubah ratapan kita
menjadi tari tarian adalah jalan Tuhan untuk menguatkan kita.
c.
Ungkapan sukacita (Habakuk 3:18)
Tarian adalah ekspresi hati pada waktu kita sedang
bersuka cita. Bahasa Yunani dari kata sukacita adalah "gil" yang
aslinya berarti "berputar putar dengan gerakan yang dahsyat". Ini
menunjukkan bahwa sukacita bukanah sesuatu yang dinyatakan dengan diam atau
sesuatu yang hanya tersimpan dalam hati.
d.
Apa kata Yesus sendiri tentang tarian?
Tidak ada ayat khusus dimana Yesus mengatakan bahwa kita
harus menari. Akan tetapi, dalam Lukas 15:11 Yesus menyampaikan perumpamaan
tentang anak yang hilang. Ketika anak yang hilang itu kembali ke rumah, bapanya
membuat suatu pesta besar untuk dia. Ayat 25 mengatakan: "Tetapi anaknya
yang sulung berada di ladang dan ketika ia pulang dan dekat ke rumah, ia
mendengar bunyi seruling dan nyanyian tari-tarian". Jadi, bersukacita dan
berpesta adalah bagian dari Kerajaan Allah. Jika Yesus tidak setuju akan
tari-tarian, Yesus tidak akan menyebutkan tentang tari-tarian di dalam
perumpamaan ini.
C.
PANDANGAN UMUM TEOLOGIS
KRISTEN “TARIAN SEBAGAI MAZMUR”
Mazmur dalam bahasa Ibrani disebut seher tehelim (dari
akar kata ‘h’, ‘l’, ‘l’, bandingkan dengan kata halleluya). Dalam bahasa Yunani
disebut dengan psalmoi dari kata psalo yang juga memiliki makna memetik
dawai. Isi dari Mazmur sangat beragam, ada pujian, permohonan, pengajaran,
meditasi. Mazmur secara umum bisa didefinisikan sebagai respons manusia
terhadap karya Allah dalam berbagai situasi, baik lewat bencana, perang,
kekalahan, lepas dari marabahaya dan sebagainya.
Pemahaman awam umat Kristen selama ini adalah bahwa
Mazmur itu sebuah lantunan pujian berupa lagu sebagai ucapan syukur. Tetapi
bila dikaji dengan pendekatan teologis secara mendalam, nyanyian Mazmur juga
dapat dilantunkan melalui tarian. Hal itu dapat dilihat dari nas saat ini,
Mazmur 30 : 11 - 12.
Dalam Mazmur 30 : 11 – 12, dikatakan bahwa jiwa yang
meratap dijadikan Tuhan dengan sukacita lewat tarian. Jadi tarian merupakan
nyanyian jiwa atas rasa sukacita oleh kasih Tuhan. Dalam tradisi Yahudi di masa
lampau, tarian biasanya dilaksanakan pada kegiatan pesta yang meriah. Dalam
kerajaan, tarian biasanya digunakan untuk menghibur raja dalam istirahatnya.
Pemazmur dalam nas ini, ingin menunjukkan bahwa tarian
yang dilakukan oleh orang beriman bukan untuk kesenangan manusiawi, tetapi
untuk menyukakan hati Tuhan yang telah menggantikan ratapan dengan sukacita.
Oleh karena itu, jika seorang beriman sedang bersukacita, dia perlu menari
untuk Tuhan.
Tidak semua orang bisa bernyanyi. Tidak semua orang bisa bermain musik.
Tidak semua orang bisa menari. Atas dasar itu, pemazmur secara tersirat ingin
menyampaikan dalam mazmurnya, yang bisa bernyanyi untuk Tuhan, mari bernyanyi.
Siapa yang bisa bermain musik untuk Tuhan, dentangkanlah musik dengan indah.
Bagi yang bisa menari untuk Tuhan, menarilah dengan sukacita. Segala kemampuan
dan talenta yang diberikan Tuhan, dapat dilakukan untuk memuji-muji Tuhan. Umat
percaya harus menyukuri segala berkat yang diberikan Tuhan atas hidupnya, baik
lewat nyanyian, alat musik maupun tarian. Untuk itulah Mazmur tercipta sebagai
karya besar seni dalam sistem beriman umat percaya.
D.
PANDANGAN ALKITAB TENTANG
PENYIMPANGAN BUDAYA TARIAN JAWA
Kitab Keluaran 32:19 mencatat salah satu contoh,
bagaimana bangsa Israel menyembah patung anak lembu emas dalam tari-tarian
ketika mereka sudah tidak sabar menantikan Musa membawa hukum Allah kepada
mereka.
Contoh lainnya
terdapat pada kitab I Raja-raja 18:26, di mana para nabi baal menggunakan
tari-tarian sebagai salah satu ritual untuk memanggil hujan pada peristiwa di
Gunung Karmel.
Injil Matius 14:6-8 juga mencatat bahwa tari-tarian, yang
seharusnya menjadi bagian dari penyembahan kepada Allah, digunakan sebagai
sarana untuk membunuh Yohanes Pembaptis.
·
Seperti yang terdapat dalam
kliping 1 mengenai “Tari Topeng” dan kliping 3 mengenai “Tari Ujung” yang
bertujuan untuk pemujaan kepada leluhur. Adanya kepercayaan kepada orang mati yang masih hidup di suatu alam gaib dan bahwa mereka dapat
membantu atau mencelakakan orang yang hidup. Ilmu magis atau disebut juga ilmu gaib berakar pada suatu kepercayaan
bahwa dalam orang *benda, tempat atau juga keadaan mengandung daya
kekuatan (hal ini berhubungan dengan dinamisme). Ayat yang
menentang pemahaman tersebut adalah Ulangan
18:10-12. Orang mati
tidak sadar dan tidak hidup di tempat lain. Jadi, upaya untuk berkomunikasi
dengan mereka tidak ada gunanya. Pesan apa pun yang tampaknya berasal dari
orang tercinta yang telah meninggal sebenarnya berasal dari si jahat. Karena itu, Tuhan melarang
orang Israel untuk mencoba berbicara dengan orang mati atau terlibat dengan
semua bentuk spiritisme.
·
Pada kliping 1 mengenai “Tari
Topeng” yang bertujuan untuk sarana menemukan jodoh bagi remaja setempat dan
pada kliping 5 mengenai “Tari Tradisi Ngarot”
yang dijadikan sarana mencari pendamping hidup sangat
bertentangan dengan Alkitab. Allah memiliki prinsip-prinsip yang mutlak dalam
memilih jodoh/pasangan hidup untuk anak-anak yang dikasihiNya. Allah memiliki
cara-cara yang indah untuk mempertemukan seorang pria dan wanita yang akan
disatukan dalam satu kesatuan yang sempurna.
Banyak pemuda
remaja yang salah dalam menemukan pasangan hidup karena tidak mengerti tentang
prinsip-prinsip firman Allah yang sesungguhnya.
Metode Allah dalam mempertemukan jodoh antara
lain :
1.
Inisiatif dari Allah (Kej 2:18 )
2.
Mendengar suara Tuhan/konfirmasi
(Kej 2:28) dan menguji suara tersebut dengan firman Allah.
3.
Mengetahui kehendak Tuhan (Rm 12:2).
4.
Percaya kepada Tuhan dan tidak
khawatir (Ams 3:5)
5.
Bergaul sampai dipertemukan Tuhan
·
Pada kliping 2
mengenai “Tari Ronggeng Gunung” sebagai ungkapan syukur atas kesuburan dan
panen dicatat dalam Alkitab Perjanjian Lama sebagai hari Pentakosta:
1)
Hari Pertemuan
Kudus (Imamat 23:21)
Pada hari tersebut
tidak boleh dilakukan pekerjaan berat, dan semua laki-laki Israel harus hadir
di tempat kudus (Imamat 23:21). Pada hari itu dua buah roti bakar, yang dibuat
dari tepung halus yang baru dan beragi, diunjukkan oleh imam di hadapan Allah,
pada saat imam mempersembahkan korban-korban binatang untuk menghapus dosa dan
memperoleh keselamatan (Imamat 23:17-20).
*Ingo Wulfhorst, Op.Cit, hal. 28. Roh nenek moyang diakui dapat
menunjukkan kekuatannya. Roh ini dapat berkomunikasi dengan orang tertentu,
sehingga dengan komunikasi ini, roh nenek moyang ini dapat diperintah.
2)
Hari Bersukaria
(Ulangan 16:15)
Pada hari itu orang
Israel saleh mengungkapkan rasa terima kasihnya karena berkat tuaian gandum dan
sekaligus menyatakan rasa takut dan hormat kepada Yahweh (Yeremia 5:24).
·
Pada kliping 14
mengenai “Tari Kuda lumping” yang dilakukan dengan pemanggilan roh ke tubuh
pemain dan pada kliping 15 masyarakat desa Bakungan menggelar ritual Tolak Bala
dengan menggelar tari Seblang. Selanjutnya dilakukan ritual pemanggilan roh
oleh pawang atau dukun agar masuk ke tubuh penari. Seorang dukun membuat
guna-guna dan memasukkan roh ke dalam tubuh seseorang*
Alkitab mengatakan bahwa salah satu alasan mengapa Saul mati “dia bertanya
pada seorang pemanggil arwah untuk petunjuk” daripada bertanya kepada Tuhan (1
Tawarikh 10 : 13-14).
Bangsa Israel dilarang
mempraktekkan atau menggunakan jasa para pemanggil arwah, karena Tuhan adalah
Allah mereka (Im 19:31). Necromancy dan sejenisnya merupakan hal yang menjijikkan di mata
Allah (Ul 18:10-12). Bangsa Israel seharusnya meminta petunjuk pada Tuhan,
Allah mereka, dan bukan para roh orang mati (Yes 8:18).
·
Pada kliping 7
mengenai “tarian Bedhaya Arjuna Wijaya” diawali dengan membakar kemenyan
sebelum ritual sepasang gamelan dimulai. Selain
kemenyan, setangkep pisang raja
dan semangkuk kembang sekar diletakkan di antara gong. “Untuk nuwun sewu
(permisi)”.
Ritual merupakan
tata cara atau system yang harus dilakukan dalam melakukan pemujaan kepada
roh-roh. Ritual yang dilakukan oleh masyarakat Jawa juga sangat kental dengan
pemujaan kepada roh-roh. Dalam ritual tersebut seseorang harus menyajikan
sesajen. Orang Kristen tidak boleh menyimpang dari Firman Tuhan dan harus melakukan
apa yang benar di mata Tuhan yaitu dengan tidak mempersembahkan dan membakar
korban sesembahan (1 Raja-raja 22 : 43).
*T.Sianipar, Alwisol & Munawir Yusuf, Dukun, Mantra dan Kepercayaan
Masyarakat hal. 19
E.
SIKAP GEREJA TERHADAP
KEBUDAYAAN
Jika dihubungkan dengan metode dan strategi
penginjilannya Gereja hendaknya tidak selalu gampang bersikap negatif terhadap
segala unsur adat dan budaya setempat. Dan asal terima begitu saja, melainkan
lebih dituntut untuk bersikap peka, positif, selektif dan kreatif.
Secara positif selektif dan kreatif gereja bisa memulai,
menggunakan dan memanfaatkan dari apa yang ada. Dan meniadakan yang dipandang
membahayakan atau mengingkari iman Kristen, khususnya yang berhubungan dengan
Alkitab.
Dalam menghadapi kebudayaan dengan berbagai
kecenderungannya, kita patut memperhatikan bagaimana hubungan dan sikap iman
Kristen menghadapi kebudayaan.
Menurut Jan Verkuyl dan Richard Niebuhr ada 5 macam sikap
umat Kristen terhadap kebudayaan*,
yaitu:
1.
Antagonistis atau Oposisi
Sikap antagonistik (oposisi, menentang, menolak) terhadap
kebudayaan ialah sikap yang melihat pertentangan yang tidak terdamaikan antara
agama Kristen dan kebudayaan dan sebagai akibatnya menolak dan menyingkiri
kebudayaan dalam semua ungkapannya. Gereja dan umat beriman sebagai individu
memang kerapkali harus berkata tidak atau menolak terhadap ungkapan kebudayaan
tertentu, yakni kebudayaan yang: (1) menghina Tuhan; (2) menyembah berhala; dan
(3) yang merusak kemanusiaan. Namun, itu tidak berarti bahwa semua aspek
kebudayaan perlu ditentang.
2.
Akomodasi atau Persetujuan
Sebaliknya dari sikap antagonistis, adalah yang
mengakomodasikan, menyetujui atau menyesuaikan diri dengan kebudayaan yang ada.
Dengan demikian maka agama Kristen dikorbankan untuk kepentingan kebudayaan
yang ada demi suatu sinkretisme. Salah satu sikap demikian ditujukan untuk
membawa orang kepada suatu cara berfikir, cara hidup dan berkomunikasi atau
berhubungan dengan orang lain sedemikian rupa hingga seolah-olah ‘semua agama
sama saja’ dan di dalam pergaulan hidup disingkirilah unsur agama Kristen yang
sekiranya dapat menimbulkan keengganan golongan lain serta menyesuaikan diri dengan
keadaan disekelilingnya.
3.
Dominasi atau Sintesa
Ada juga sikap dominasi gereja terhadap kebudayaan
seperti yang dengan jelas terlihat dalam Gereja yang mendasari ajarannya dengan
teologi Thomas Aquinas yang menganggap bahwa sekalipun kejatuhan manusia dalam
dosa telah membuat citra Ilahinya merosot, pada dasarnya manusia tidak jatuh
total, melainkan masih memiliki kehendak bebas yang mandiri. Itulah sebabnya
dalam menghadapi kebudayaan kafir sekalipun, umat bisa melakukan akomodasi
secara penuh dan menjadikan kebudayaan kafir itu menjadi bagian iman, namun
kebudayaan itu disempurnakan dan disucikan oleh sakramen yang menjadi alat
anugerah Ilahi.
4.
Dualisme atau Pengkutuban
Dualistis/pengkutuban (mendua) terhadap kebudayaan ialah
pendirian yang hendak memisahkan iman dari kebudayaan. Pada satu pihak
terdapatlah dalam kehidupan kaum beriman kepercayaan kepada pekerjaan Allah
dalam Tuhan Yesus Kristus, namun manusia tetap berdiri di dalam kebudayaan
kafir dan hidup di dalamnya. Peran penebusan Tuhan Yesus yang mengubah hati
manusia berdosa dan mengubahnya menjadi kehidupan dalam iman tidak ada artinya
dalam menghadapi kebudayaan. Manusia beriman hidup dalam kedua suasana atau
lapangan baik agama maupun kebudayaan secara bersama-sama
5.
Pengudusan atau Pentobatan
Sikap pengkudusan tidak menolak (antagonistis) namun juga
tidak menerima (akomodasi), tetapi dengan sikap keyakinan yang teguh bahwa
kejatuhan manusia dalam dosa tidak menghilangkan kasih Allah atas manusia
melainkan menawarkan pengampunan dan kesembuhan bagi manusia untuk bertobat,
memulai suatu kehidupan yang lebih baik dengan mengalami transformasi kehidupan
etika dan moral sesuai kehendak Allah. Manusia dapat menerima hasil kebudayaan
selama hasil-hasil itu memuliakan Allah, tidak menyembah berhala, mengasihi
sesama dan kemanusiaan. Sebaliknya bila kebudayaan itu memenuhi salah satu atau
ketiga sikap budaya yang salah itu, umat beriman harus menggunakan firman Tuhan
untuk mengkuduskan kebudayaan itu sehingga terjadi transformasi budaya kearah
‘memuliakan Allah’, ‘tidak menyembah berhala’ dan mengasihi manusia dan
kemanusiaan.
* Niebuhr, Richard,
H, Christand Culture, terj. Satya Karya, jakarta : Petra Jaya, tt.
Tidak ada agama yang bebas budaya dan apa yang disebutkan
Allah tidak akan mendapatkan makna manusiawi yang tegas tanpa mediasi budaya,
dalam masyarakat Indonesia saling mempengarui antara agama dan kebudayaan
sangat terasa. Praktik inkulturasi dalam upacara keagamaan hampir umum dalam
semua agama.
Budaya
yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab yang
diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh
konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi
yang objektif.
Budaya agama tersebut akan terus tumbuh dan berkembang
sejalan dengan perkembangan kesejarahan dalam kondisi objektif dari kehidupan
penganutnya.
Hubungan kebudayaan dan agama tidak saling merusak,
kuduanya justru saling mendukung dan mempengaruhi. Ada paradigma yang
mengatakan bahwa ” Manusia yang beragama pasti berbudaya tetapi manusia yang
berbudaya belum tentu beragama”.
Jadi agama dan kebudayaan sebenarnya tidak pernah
bertentangan karena kebudayaan bukanlah sesuatu yang mati, tapi berkembang
terus mengikuti perkembangan jaman. Demikian pula agama, selalu bisa berkembang
di berbagai kebudayaan dan peradaban dunia.
BAB IV
A.
Kesimpulan
1.
Berdasarkan kesaksian Alkitab PL (Kej 1:28; 2:15) dikatakan
bahwa agama dan kebudayaan merupakan kedua hal yang diibaratkan sebagai mata
uang logam, dimana saling melengkapi dan memiliki pengaruh timbal balik. Agama dan kebudayaan dapat saling
mempengarui. Agama mempengaruhi sistem kepercayaan serta praktik-praktik kehidupan, sebaliknya kebudayaan pun dapat
mempengaruhi agama, khususnya dalam hal bagaimana agama di interprestasikan atau bagaimana ritual-ritualnya harus
dipraktikkan. Hubungan kebudayaan dan
agama tidak saling merusak, keduanya justru saling mendukung dan mempengaruhi.
2.
Tarian yang dilakukan oleh orang beriman bukan untuk
kesenangan manusiawi, tetapi untuk menyukakan hati Tuhan yang telah
menggantikan ratapan dengan sukacita.
Dalam Mazmur 30:11-12, dikatakan bahwa jiwa yang meratap
dijadikan Tuhan dengan sukacita lewat tarian. Jadi tarian merupakan nyanyian
jiwa atas rasa sukacita oleh kasih Tuhan.
3.
Tujuan kebudayaan yang utama adalah memuliakan Allah dan
mengasihi sesama. Hal ini sangat penting bagi kita untuk menyikapi kebudayaan
sesuai dengan Firman Tuhan. Itulah tanggung-jawab yang diberikan Tuhan kepada
kita. Manusia dapat menerima hasil kebudayaan selama hasil-hasil itu memuliakan
Allah dan mengasihi sesama. Sebaliknya bila kebudayaan tersebut tidak ditujukan
untuk memuliakan Allah dan mengasihi sesama, umat beriman harus menggunakan Firman
Tuhan untuk menguduskan kebudayaan itu sehingga terjadi transformasi budaya
kearah memuliakan Allah dan mengasihi sesama. Sikap ini disebut Pengudusan atau
Pentobatan.
B.
Saran
1.
Gereja :
Seyogyanya Gereja harus berhati-hati dalam menyikapi
persoalan budaya yang menyatu dengan keKrtistenan. Setiap daerah memiliki
tradisi nenek moyang yang tidak tergoyahkan dan susah menerima budaya dari
luar. Kebudayaan kita telah berkembang seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan
tetapi kita harus mengingat teguran Paulus yang disampaikan kepada jemaat di
Kolose: hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya
yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi
tidak menurut Kristus (Kol. 2:8).
2.
Umat Kristen:
Dalam Matius 5:13-16 Tuhan Yesus meminta orang Kristen untuk
menggarami dan menerangi dunia. Artinya
Tuhan Yesus menyuruh kita mempengaruhi, mewarnai, merasuki memperbaiki realitas
sosial, ekonomi, politik dan budaya yang ada. Sebagai orang Kristen
kita dipanggil bukan untuk menjauhkan diri atau memusuhi budaya (Tari topeng, Ronggeng, Ujung, Gandrung, Ngarot, Bedhaya,
Kembar Mayang, Bedaya Kajongan, Ketawang, Kuda Lumping, Tolak Bala, Umbul Donga)
namun untuk menggarami dan meneranginya dengan Firman Tuhan, kasih dan kebenaranNya.
3.
Pemerintah :
Pemerintah seharusnya lebih serius dan tegas dalam membuat Undang-Undang
khusus untuk melindungi kebudayaan asli Indonesia. Perlu adanya tindakan
pemerintah baik pusat maupun daerah dalam upaya pelestarian budaya
tradisional. Keanekaragaman budaya yang
dimiliki Indonesia terdiri dari ribuan etnis harus bisa dipatenkan agar tidak
lagi dicuri oleh negara lain hanya untuk kepentingan keuntungan belaka. Ini
menjadi prioritas sebagai pengakuan budaya Indonesia secara internasional.
Kegiatan ini dapat dilakukan dengan cara menggelar pertunjukan
budaya di tempat umum secara berkesinambungan untuk dapat mendatangkan
keuntungan bagi negara.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Sumber dari buku :
Richard Niebuhr, Kristus
dan Kebudayaan, Petra Jaya:
Jakarta 1995
J. Verkuyl, Etika
Kristen dan Kebudayaan, BPK-GM: Jakarta,
1960
T.Sianipar,
Alwisol & Munawir Yusuf, Dukun,
Mantra dan Kepercayaan Masyarakat, Grafikatama Jaya, 1992
Rahmat
Subagya, Kepercayaan-Kebatinan-Kerohanian-Kejiwaan-dan
Agama, Kanisius : Yogyakarta, 1992
Harun
Hadiwidjono, Iman Kristen, BPK-Gunung
Mulia: Jakarta, 2006
Koentjaraningrat,
Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta,
PT. Renaka Cipta: 1990
J. Verkuyl, Etika Kristen dan Kebudayaan, BPK-GM: Jakarta, 1960
Knitter, Paul
F. 2004. Satu Bumi Banyak Agama, Jakarta: BPK Gunung Mulia
Soekanto
Soerjono,1987. Sosiologi Suatu Pengantar.Rajawali
press: Jakarta
2.
Sumber dari web :
Hubungan agama Kristen dan budaya di dalam: http://kandiolimei.blogspot.com/2012/05/hubungan-agama-dan-budaya-dalam-kristen.html dikunjungi pada tanggal 13 April 2015
Jodoh: Pilihan atau Takdir? Oleh Pdt. Samuel T. Gunawan,
M.Th di dalam: http://artikel.sabda.org/jodoh_pilihan_atau_takdir dikunjungi pada tanggal 28 April 2015
3.
Sumber koran :
Koran 1: Siwi
Yunita Cahyaningrum dan Timbuktu Harthana,Gaya
pantura jadi bagian sendi tradisi, Kompas, Sabtu 23 Oktober 2010
Koran 2 :
Cornelius Helmy, Ronggeng Gunung Teruslah
Menari, Kompas, Selasa 4 Januari 2011
Koran 3:
Bahana Putri Patria Gupta, Suku Tengger: Persaudaraan
dalam tari, Kompas, Minggu 30 Oktober
2011
Koran 4:
Khareul Anwar dan Syamsul Hady, Gandrung
Bayuwangi tarian penggerak ekonomi, Kompas, Sabtu 8 januari 2011
Koran 5: NN, Menemukan jodoh ditengah sawah, Kompas,
Sabtu 15 Januari 2011
Koran 6:
Timbuktu Harthana, totalitas rasinah,
Kompas, Minggu 8 Agustus 2010
Koran 7: Anton
Wisnu Nugroho, Jalan Budaya Keraton
Yogyakarta, Kompas 8 Mei 2010
Koran 8: Lusia
Idayani, Heru C.N, Malam purnama di Tutup
Ngisor, Tempo, Minggu 25 Januari 2009
Koran 9: Aryo
Wisanggeni G, Rekontruksi Bedaya Kajongan
Cirebon, Kompas, Minggu 18 September 2011
Koran 10: Aryo
Wisanggeni Genthong,”Solo 24 jam Menari”
3000 Penari unjuk kemampuan, Kompas, Senin 30 April 2012
4.
Sumber koran online :
Ipung, Tari Bedhaya Ketawang Dalam Upacara Jumenengan, http://www.tabloidpamor.com/berita-235-tari-bedhaya-ketawang-dalam-upacara-jumenengan.html, Jumat, 15 Juni 2012 - 19:48:01 WIB
Ika Ningtyas, Seribu Gandrung Ramaikan Banyuwangi
Festival, http://www.tempo.co/read/news/2012/11/18/200442386/Seribu-Gandrung-Ramaikan-Banyuwangi-Festival,Minggu,
18 November 2012 | 04:31
Suryo Wibowo, Didik Nini Thowok:
Pengalaman Mistis Selama Menari, http://www.tempo.co/read/news/2011/05/31/001338019/Didik-Nini-Thowok-Pengalaman-Mistis-Selama-Menari, Selasa, 31
MEI 2011 | 20:37 WIB
Raminah ,Tarian Magis
Kuda Lumping, http://www.aktual.co/warisanbudaya/095531tarian-magis-kuda-lumping, Kamis 05-07-2012 09:40 WIB